Siapa sangka, tawaran piknik gratis itu berbuah pemurtadan. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 34 warga Karangtengah, berhasil dimurtadkan dalam semalam.
Awalnya, Abang Siregar, warga pendatang keturunan Batak, mengajak warga Karangtengah berwisata ke Pangandaran. Mereka bukan saja ditawarkan piknik gratis, juga dijanjikan akan diberi uang seratus ribu rupiah sepulang dari wisata.
Bagi warga yang kebanyakan tidak mampu dan jarang bepergian itu, tawaran tersebut ibarat angin surga. Habis piknik gratis, dapat uang pula. Tidak ada kecurigaan sedikit pun kalau mereka hendak dimurtadkan.
Ajakan itu disambut beberapa orang warga. Mereka lalu berkumpul dan langsung berangkat dari Kadungora dibawa sebuah mobil angkutan umum ke sebuah gereja yang terletak di jalan Pramuka Garut. Konon, gereja hanya tempat transit sementara.
Setelah menginap satu malam, pagi harinya rombongan langsung diberangkatkan sebuah bus disertai beberapa orang pendeta. Para warga begitu riang menikmati perjalanan wisata.
Sebagian warga menaruh kecurigaan selama perjalanan tersebut. Mereka menangkap keganjilan sejak menginap di gereja hingga perjanan wisata dibarengi pendeta. Selama dalam perjalanan yang memakan waktu berjam-jam itu, mereka sedikit pun tidak diberi makanan.
Saat itu setiap orang hanya diberi sepotong lontong. Padahal, perut mereka benar-benar keroncongan karena tidak mendapatkan makanan sedikit pun selama perjalanan.
Kecurigaan kian mengental saat tahu mereka dibawa lagi ke sebuah gereja setibanya di daerah wisata Pangandaran. Yang cukup mengejutkan, di gereja itu ternyata telah berkumpul banyak orang dari berbagai pelosok dari daerah Garut.
Di gereja itulah mereka dijamu dengan banyak makanan mewah. Kontan saja seluruh peserta piknik yang memang sudah lapar sedari tadi, tergiur begitu melihat makanan enak ada di depan mata.
Hanya, mereka dilarang untuk mencicipi makanan tersebut sebelum menandatangani sebuah berkas. Menurut pengakuan korban, sebagian besar mereka sedikit pun tidak tahu isi berkas tersebut. Berbagai perasaan warga berkecamuk setelah itu.
Ada yang menolak menadatangani, ada yang menangis, ada juga yang menurut begitu saja menandatangani berkas yang disodorkan karena rasa lapar yang terus mendera.
Kebanyakan para korban tidak sadar, berkas yang mereka tandatangani itu adalah surat pernyataan kesiapan pembaptisan. Setelah berkas itu ditandatangani, di sana mereka dimandikan kemudian dibaptis.
Para korban benar-benar tidak sadar apa yang telah mereka lakukan. Padahal, sejak penandatanganan dilakukan, sejak itu pula mereka tengah digiring pindah agama, dari penganut Islam menjadi seorang Kristiani.
Setelah seharian penuh menikmati wisata pemurtadan, semua warga bertolak kembali ke daerah masing-masing. Dalam perjalanan pulang, beberapa sindiran dari korban sempat terlontar kepada para pendeta yang ikut rombongan.
Sang pendeta cuek saja, bahkan pura-pura tidak mendengar cemooh yang terlontar jelas kepada mereka. Setibanya di Garut, mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka dibawa kembali ke gereja untuk kemudian dibagikan uang mulai limapuluh hingga seratus ribu rupiah.
Dua pekan setelah wisata pemurtadan, kejadian ini rupanya diendus seorang guru sekolah dasar, Asep Lukman. Melalui laporan istrinya, ada warga Cimuncang yang masuk Kristen.
Tak percaya, bapak berusia 44 tahun yang berprofesi sebagai guru olahraga di SD Karangsalam 3 itu, mengkonfirmasi berita yang baru diterimanya tersebut kepada Ustadz Haris yang dianggap sesepuh Kampung Cimuncang.
Rupanya Ustadz Haris pun menerima kabar serupa dari ketua RT setempat. Keduanya akhirnya bersepakat untuk menelusuri dan mengecek kebenaran informasi yang baru diperolehnya. Warga tidak menaruh curiga pada AS, dalang pemurtadan, karena telah lama menjadi penduduk Karangtengah.
“Delapan tahun AS tinggal bersama kami. AS menikahi seorang gadis penduduk asli desa kami. Bahkan, AS menikah secara Islam. Sekalipun, pembuktian keislamannya itu tidak terlihat baik oleh warga,” ujar Asep.
Setelah mengumpulkan informasi secukupnya, didapatkanlah beberapa nama yang dicurigai telah berpindah agama. Asep lantas menyusun siasat. Beberapa orang yang dicurigai dikuntit Asep sampai kemudian tiba di sebuah gereja. Meski dengan perbekalan ponsel sederhana, Asep terang-terangan mengambil gambar orang tersebut saat keluar-masuk gereja.
Upaya Asep diketahui korban. Korban segera mendatangi Asep dan menanyakan maksud pengambilan gambar tersebut. Saat itu Asep justru balik bertanya, apa yang tengah dilakukan korban di gereja tersebut. Bagi Asep, kejadian yang baru disaksikannya itu merupakan fakta penting yang kian menguatkan dugaan warga selama ini.
“Korban sempat beralasan tertinggal jaket di gereja. Jumlah mereka saat kepergok ada empat orang. Saya kenal mereka semua,” ujar Asep.
Setelah didesak, korban mengakui dan menyebutkan bahwa bukan dirinya saja yang telah berpindah keyakinan. Ada sekitar 34 orang warga Karangtengah yang telah dikristenkan, tepatnya pada saat mereka berwisata ke Pangandaran.
Sebagai warga Muslim yang taat, Asep jelas merasa terusik dengan kejadian tersebut. Berbekal data dan fakta yang ada, Asep Lukman dan Ustadz Haris langsung melapor kepada Ketua MUI Desa, KH Asep Bahrul Hayat. Ketiganya lalu mengumpulkan data-data berikut menginvestigasi beberapa orang yang disinyalir telah masuk Kristen.
Berdasarkan bukti dan fakta yang ada, ditengarai pelaku pemurtadan dilakukan oleh jaringan gereja Advent Masehi Hari Ketujuh. Dalam investigasi itu ditemukan juga beberapa dokumentasi penting berupa sertifikat pembaptisan, kitab suci Kristen, majalah Adventist World, dan sebuah buku seorang misionaris yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Sunda.
Setelah menghubungi aparat setempat, seminggu kemudian, diadakanlah pertemuan dengan dihadiri oleh Muspika setempat. Pertemuan juga dihadiri para korban. Pada pertemuan tersebut masyarakat diberikan pengarahan seputar bahaya Kristenisasi sekaligus pembagian sembako bagi masyarakat tidak mampu terutama bagi korban pemurtadan.
Akhirnya, dengan disaksikan semua warga dan aparat setempat, para korban saat itu mengikrarkan syahadat kembali dengan rasa penyesalan mendalam. Mereka benar-benar merasa tertipu dan tidak tahu-menahu dengan upaya pemurtadan terselubung tersebut.
Dari 34 korban pemurtadan, yang berhasil dikembalikan keyakinannya sebanyak 30 orang. Sementara 4 orang lainnya, yang diduga dalang sekaligus agen yang aktif menyebarkan misi Kristenisasi ini, langsung kabur setelah melihat gelagat warga setempat mengendus upaya busuk mereka.
Hampir saja terjadi bentrok antarwarga akibat pemurtadan ini. Betapa tidak, warga yang kesal keluarganya dimurtadkan, kemudian mencoba mencari dalang pemurtadan. Karena dalang utama AS tidak berada di tempat, mereka mencari warga setempat yang diduga aktif menyebarkan ajaran Kristen di daerahnya.
Atas saran sesepuh dan aparat setempat, upaya penghakiman massa itu akhirnya dapat dihindari. Terlebih pelaku yang dimaksud telah kembali masuk Islam. Pada pertemuan yang juga dihadiri pejabat Kabupaten Garut tersebut, dibentuklah Forum Penyelamat Akidah Umat (FPAU). Asep Lukman kemudian terpilih sebagai ketuanya dan Ustadz Arsyad Salim sebagai sekretaris.
Diprakarsai GARIS (Gerakan Reformasi Islam) wilayah Jabar, disusunlah rencana guna mempertanggungjawabkan beberapa orang terkait atas peristiwa menghebohkan itu. Atas restu dan kesepakatan bersama, tim FPAU dan GARIS Jabar melayangkan surat kepada Ketua DPRD Kabupaten Garut agar bisa beraudiensi dengan aparat setempat dan pelaku pemurtadan.
Pertemuan segitiga pun dilangsungkan. Dengan dihadiri pejabat Pemda Kabupaten Garut, pertemuan Tim FPAU dan pengurus gereja Advent berlangsung di gereja yang sama. Dari gereja Advent Masehi Hari Ketujuh diwakili Pendeta Oliver Tambunan.
Di depan Pemda setempat, tim FPAU langsung mengklarifikasi upaya pemurtadan yang menimpa warga mereka kepada pihak gereja. Sekalipun awalnya keberatan, sang pendeta akhirnya mengakui upaya busuk mereka memurtadkan warga bersangkutan.
Saat itulah dibuat perjanjian penting. Dalam surat perjanjian itu disepakati tiga poin berisi tuntutan agar pihak gereja Advent Masehi Hari Ketujuh mengembalikan umat Islam yang telah berpindah agama dari Islam ke Kristen, tidak melakukan penyebaran agama kembali, serta memohon maaf kepada umat Islam atas peristiwa yang telah terjadi baik secara lisan dan tulisan di berbagai media.
Apabila pihak gereja tidak melaksanakan tuntutan di atas, maka pihak gereja Masehi Advent Hari Ketujuh bersedia keluar dari wilayah perjanjian. Surat perjanjian ini dilengkapi materai, ditandatangani oleh Asep Lukman dari Forum Penyelamat Akidah Umat (FPAU), Pdt. Oliver Tambunan dari Gereja Advent, Djudju Nuzuluddin dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Undang Hidayat dari MUI Kabupaten Garut, dan H. Firdaus sebagai Kepala Depag Kabupaten Garut.
Untuk mengantisipasi hal serupa terulang kembali, Camat Kadungora, Drs. Aang Suhana dan Tim Penyelamatan Akidah Umat (TPAU) menyebarkan surat edaran kepada 177 Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) yang ada di kecamatan Kadungora. Isi edaran tersebut mengimbau warga agar selalu waspada terhadap berbagai ajakan menggiurkan dalam upaya pemurtadan.
KH. Asep Bahrul Hayat, Ketua MUI Desa mengatakan, “Mereka itu dijebak. Saat ada tawaran piknik gratis dan pembagian uang secara cuma-cuma, kontan saja banyak warga tertarik. Jangankan ke Pangandaran, ke Garut kota saja mereka bisa dibilang belum pernah. ”
Kiai Bahrul bekerjasama dengan komponen masyarakat memberikan bantuan modal terutama untuk kelangsungan hidup para korban. “Agar para korban mendapatkan penghasilan tetap. Dengan cara itulah perhatian dari saudara sesama keyakinan akan mereka rasakan,” tegasnya.
Desa Karangtengah yang berpenduduk kurang lebih 5263 jiwa tersebut, tercatat sekitar 2830 warga tergolong miskin. Mayoritas warga kebanyakan berprofesi sebagai buruh tani. Upaya ke depan yang perlu dilakukan adalah melakukan pembinaan rutin warga, menganjurkan untuk lebih sering mengikuti pengajian, dan membina tali silaturahim terutama membantu mereka yang berkekurangan.
“Misi Kristenisasi ini dijalankan masif dan agresif. Kadungora bukan satu-satunya target. Upaya pemurtadan serupa banyak menyasar daerah-daerah pelosok lain di Garut seperti Bungbulang, Cikajang, Cisewu, Cilawu, Cijayana, Leles, Rancabuaya, dan lainnya,” ujarnya.
Sayangnya, tidak ada imbauan tegas dari Pemda Garut terhadap misi pemurtadan ini. Bahkan dalam kasus Kadungora, seperti pengakuan Asep Lukman, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) terkesan dingin. “Padahal, ini kan wilayah kewenangan mereka,” tegas Asep.
Bukan Desa Karangtengah saja yang terjebak pemurtadan. Desa sekitar juga tak luput dari upaya pemurtadan seperti Desa Gandamekar, Karangmulya, dan Hegarsari. Desa Karangtengah yang terdiri dari sembilan kampung, tiga diantaranya terkena pemurtadan yaitu Lanjung, Bojongsalam, dan Cimuncang.
Kabar pemurtadan ini jelas tamparan besar. “Semoga misi pemurtadan tidak terulang lagi. Kita melindungi semua agama yang diindungi undang-undang. Tapi, menyasar warga yang beragama, itu sebuah kekeliruan. Dikuatirkan terjadi konflik besar yang merembet ke tengah-tengah masyarakat,” tegas Aang Nazarudin, Kepala Desa Karang Tengah.
Guna menghadang upaya pemurtadan, GARIS Jabar kemudian merintis pembentukan organisasi serupa. Banyak anggota dari Forum Penyelamat Akidah Umat (FPAU) yang bergabung dalam gerakan antipemurtadan yang kini tengah berkonsentasi menangani sejumlah aliran sesat tersebut.
GARIS Garut kini terus bergerak menyadarkan pemahaman masyarakat akan bahaya Kristenisasi. Mereka terus menggalang dana operasional dari anggotanya seadanya karena memang belum memiliki penyandang dana tetap.
“Masyarakat, terutama para agniya Muslim masih minim pemahaman mendukung upaya-upaya menghadang pemurtadan. Padahal, untuk membina para korban yang sudah masuk kembali pada ajaran Islam jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi kebanyakan mereka tergolong kurang mampu,” ujar Ustadz Asep MH, Ketua GARIS Garut. (Yusuf Burhanuddin)